some thoughts...

some thoughts...

1.12.13

Postponed Posts




Sebulan lebih, tepatnya 32 hari aku menjadi ibu. Niatnya sih, membuat jurnal di blog ini mengenai kehamilanku sampai masa-masa kelahiran. Namun apa daya, 9 bulan ternyata nggak selamaa yang dibayangkan. 

Here I am now, juggling between housework, getting enough sleep and handling the new born baby.

Exhausted, but I am happy.

28.9.13

Baby Bliss


Sebelum saya hamil, saya sempat kepikiran untuk membuat jurnal masa kehamilan tentang segala pengalaman pertama seputar pregnancy yang (katanya) menakjubkan.  Tapi nyatanya, sampai usia kandungan saya sekarang sudah mencapai 34 minggu, ini adalah tulisan pertama saya :p

Tentu bukan berarti saya nggak mengalami momen-momen menakjubkan tadi.  Of course, dipercaya bisa mengandung seorang anak manusia adalah sebuah berkah tak terhingga.  Nggak hanya karena bisa berketurunan, tapi proses perjalanannya benar-benar mengubah saya menjadi orang yang berbeda.  Dan saya merasakan efek ini juga terjadi pada suami saya sebagai individu, dan kami sebagai pasangan.



Yang jelas kami jadi lebih sering bersyukur, kami jadi lebih fokus, lebih sabar, lebih mengendalikan diri dan ego, lebih saling menunjukkan kasih sayang, dan banyak lagi.

Buat saya pribadi, keajaiban yang saya rasakan beyond my imagination.  Dari mulai perubahan bentuk badan, pengaruh hormon ke mood dan emosi, sampai waktu merasakan tendangan kecil diperut, bagaimana si bayi merespon omongan dan perilaku saya dan gerakan massive di minggu-minggu terakhir ini.

It's unbelievably amazing!


Dan syukur tak henti pada Tuhan, karena sudah memasangkan saya dengan suami yang penuh kasih.  Dengan segala kekurangannya (yang membuatnya semakin real & human), dia begitu pengertian, sabar dan berkomitmen menjalani masa kehamilan ini (yang membuatnya menjadi sangat spesial, mengingat banyak juga laki-laki yang masih berpikir dengan stereotype bahwa, "...yang hamil itu kan istri saya").  


Karenanya, saya sangat bangga padanya.  We're growing up together in the better or worse.  We're building our own family.  Our happiness.  Semoga selamanya.

20.7.13

Shoes Blues



 Pernahkah berkomentar, “Dulu dia nggak gitu lho!”.  Emosi yang mengiringinya bisa sebal, sinis, marah atau kasihan.

Saya pernah.  Baru saja kemarin.  Dan untungnya sebelum keburu suudzhan, saya langsung ditampar balik; dalam sebuah obrolan, seorang teman lain menceritakan kondisi sebenarnya dari si dia yang 'dulu nggak gitu' itu. 

Seketika, saya pun merasa sudah bersikap tidak adil dan sok tahu.

  Judging people emang paling gampang, tanpa kita mau tahu cerita di balik hidupnya.  Begitu kita menempatkan diri in his/ her shoes, tampaknya jadi wajar-wajar saja kalau seseorang nggak lagi seperti yang dulu.  Dian Pisesha saja mungkin udah nggak seperti yang dulu (cuma 'anak lama' nih yang ngerti joke ini Xp).  



 

Sepertinya, selama hukum alamnya masih ada aksi ada reaksi, ada sebab dan ada akibat, of course everybody changes.  It's like a part of human nature, we adapt to survive.  And in my humble opinion, as long as we live one life at a time, I don’t think we can judge people.


Mungkin ada baiknya juga sesekali kita "ganti sepatu", supaya bisa ngerti, make sepatu orang lain itu nggak selamanya enak.  Jadinya, kita bisa bersyukur deh kita pakai sepatu kita, instead of ngata-ngatain sepatu orang.




Dilemma Domestica


HAHA!

Thank God, I'm not the only woman who feels that way!

Kadang suka heran, kenapa suami nggak terganggu dengan sink yang penuh dengan piring/ gelas kotor?  Nggak ngerasa urgent buat ngisi ulang botol sabun cuci tangan yang udah kosong?  Apa dia mengira bath tub itu didisain bebas jamur dan bebas licin?

They don't know, this is such a porn for women :p
Pahit, tapi ternyata memang gitu kenyataannya!  Pria-pria nggak di-"install" kepekaan untuk bisa responsif sama hal-hal bersifat domestik!  Yaaa, tergantung orang tuanya dulu meng-install programnya atau nggak kali yaa..

Tapi nggak juga sih..  Abang saya dididik untuk bisa melakukan pekerjaan domestik.  Pas udah besar, ya nggak otomatis ngeh juga sama "kejanggalan-kejanggalan" seperti contoh di atas.  Alias, baru membantu kalau diminta atau disuruh.  



Cuma, jadi dilema juga buat para ortu.  Kalo anak lakinya di-install sama program-program domestik, tar kebablasan jadi feminin, gimana dong?  Hari gini!  Serba salah nggak sih?  :D

If only they knew, domestic works never harm his masculinity.
Instead, it makes him look way hotter! X) 



Tapi masih lumayan ajalah kalo pria-pria ini masih bisa menghargai double-duty istri jaman sekarang; ya kerja ya jadi ibu rumah tangga.  Yang sedih adalah... udah nggak peka, nggak respect juga sama istrinya.  Better pulangin aja ke mamanya yaa ;)






Mungkin soal nggak peka ini, sama juga seperti kita, para pereu, yang nggak ngeh sama waktunya ganti oli, mesin kendaraan kedengeran kasar, ban perlu angin, dan sejenisnya :p 

 Well, marriage, in learning.  Seru, tapi perlu 100% sober di dalamnya, kalo nggak mau terjebak dalam drama Oh Mama Oh Papa :)

3.7.13

Radio: The Morning Madness

Jam sembilan lewat sedikit.  Tissa tergopoh-gopoh menaiki tangga dengan memanggul notebook segede gabannya, totebag segede sariban, mengepit beberapa folder dokumen, plus sembari menjawab beberapa pesan urgent dari blackberry-nya.  Rambutnya yang masih basah sebagian menjuntai-juntai menutupi wajah.

"Weeeh, keramas pagi-pagi nih!", salah seorang kolega menyambut dengan gurauan garing di mulut tangga.  Tissa tersenyum sedikit tanpa niat, for the sake of sopan santun.  Dan...



Gubrak!!!

"Ya ampuuun, ati-ati, Mbaknyaaa!", Si Salah Seorang Kolega tadi pun buru-buru membantunya berdiri.  Seperti biasa, jatuh di tempat umum itu sakitnya nggak seberapa dibandingkan malunya.

"Hehehe..  Thanks..  Gue nggak papa kok", ujarnya sambil memunguti barang-barangnya yang tercerai di lantai.

"Yakin nggak papa?  Mau gue bawain?  Sini sini gue bawain", Si Salah Seorang Kolega, yang lalu disadari Tissa adalah Bono, staff GA, dengan baik hatinya menawarkan bantuan lagi.

"Eh, nggak usah, Bon, gue nggak papa kok, bener..", tolak Tissa halus, plus senyum manis, kali ini dengan niat tulus, "Biasaaa, meeting kepagian, jadi gini deh, buru-buru.."

Bono melirik jam, "Udah jam 9 sih nggak pagi-pagi amat kali..", ujarnya mencoba bergurau lagi.

Ups, satu langkah salah buat Bono, Saudara-saudaraaa!

Seketika, Tissa pun menarik lagi senyum tulusnya.  Tau apa dia soal meeting pagi?  Hidup lo kan normal, Bro!  Berangkat-pulang 9 to 5, nyampe rumah lo bisa snuggling sama anak-istri lo, tanpa kerjaan-kerjaan yang lo bawa pulang, tanpa teror BBM dari boss sampe jam 1 dini hari, tanpa insomnia, tanpa reminder-reminder meeting yang membabi buta di setiap pagi!  

I wish this were my to-do-list ~ Tissa.


So, don't you dare judging me!

Tissa merebut salah satu tentengannya dari tangan Bono, "Thanks!", tukasnya sambil melesat ke ruangannya.

Sesampainya di ruangan, Tissa pun buru-buru merapikan rambutnya, bajunya, dan sedikit memoleskan lipstik merahnya.  Lipstik merah ini such a big saviour for her.  Satu olesan saja... viola, menyelamatkan muka bantal plus mood yang berantakan!

"Mba Tiss, aku mau ngomong bentar ganggu nggak?", sebentuk wajah Kaya muncul di balik pintu.

Oh, no, not now!  'Mau ngomong bentar' itu sounds not such a good news!

"Gue mau meeting nih, udah telat pulak!", sergah Tissa.

"Oh, gitu ya, Mbak..  Aku cuma mau ngajuin ijin sih...  Kamis besok aku harus nganter nyokap ngurusin pajak.  Kasian dia nggak ada yang nganter.  Paling cuma setengah hari kok, Mbak.. ", Kaya pun menyodorkan selembar form ijin.

"Ooooo...  Taruh di meja aja deh, nanti gue cek ya, abis meeting.  Okey?", jawab Tissa sambil menyemprotkan body spray, kemudian menyambar notebook dan beberapa folder dokumen.

"Siap, Mbak Tis!  Thanks yaaa!", Kaya pun sumringah, "Meeting apa lagi nih, Mbak?", tanyanya melihat kehebohan klasik bosnya.

"Ah, lo nggak mau tau deh pokoknya!"

Kaya pun tertawa, "Oke deeeh, have fun deh kalo gitu!"

Tissa memutar bola matanya, "Eh, makasih lho!"

 "Deeeeeeh, gue meeting dulu yaaa!", serunya kemudian sambil tergopoh-gopoh melesat keluar ruangan, "Ada apa-apa BBM gue ya, Guuuys!"
 
Pemandangan rutin setiap pagi.  Tissa, Sang Ratu Dapur radio ini datang telat, kadang dengan rambut yang nggak sempat dikeringkan, tergopoh-gopoh untuk meeting marathon dari jam ke jam.  


"Weeeelll, coba kita itung sampe lima..  Tebak, kali ini apa yang ketinggalan?", sahut Melly, sang sekretaris.

"BB, biasanya sih.. ", ujar Rangga.

"Mug kopi dia!", sahut Luna.

As always, suara langkah kedubrakan pun kembali terdengar dari balik pintu, dan raut wajah Tissa pun nongol dengan sebentuk cengiran lebar, "BB gue, Mel, tolong dong..  Hehehe..."


=oOo=

28.5.13

Salah Jurusan



Barusan, saya menonton acara TV "How Do They Do It" di Discovery.  Kali ini mereka membahas bagaimana wasabi dibuat.


 Disitulah saya tahu bahwa wasabi buat dibuat dari sejenis cabai, melainkan dari sejenis tanaman rambat.  Bentuk tanamannya seperti ubi rambat.  Saya juga baru tahu bahwa yang diambil untuk dibuat wasabi yang kita makan di restoran sushi adalah bagian pangkal batangnya.  Cara membuatnya pun sederhana sekali, cuma digosok-gosokkan secara melingkar di sejenis talenan bepermukaan kasar (yang terbaik katanya terbuat dari kulit hiu).

Respon saya pada suami yang juga ikut menonton, "Ih, mau deh aku punya lahan trus memproduksi kayak gitu!".  Respon yang sama begitu saya menonton bagaimana membuat keju Swiss dan wine.



Intinya, saya tertarik untuk mengelola agrobisnis.

Well...  Sepertinya, dari dulu saya sebenarnya sudah "diletakkan" Tuhan pada tempatnya.  Actually, I took Agronomy major in college.  Keinginan saya tadi sebenarnya bisa diwujudkan kalau saja saya menyadarinya like 8 tahun lalu, misalnya.

Tanpa menyesali dimana saya berada sekarang, saya cuma menyayangkan betapa sia-sia bidang ilmu yang saya timba (walaupun memang nggak ada kata terlambat untuk memulai dan belajar kembali sih...).  Kalaaaau saja saya kuliah dengan motivasi yang tepat...

Dulu, motivasi saya kuliah?  Supaya sukses dan "jadi orang".  Supaya bisa kerja dan bisa cari uang.  Papa menambahkan, "Pilih jurusan yang bisa wirausaha, supaya kamu nggak tergantung kerja sama orang lain!"

Hmmm, nggak ada bayangan buat wirausaha!  Apa sih maksudnya wirausaha?  Waktu itu, nggak pernah ada di benak saya pilihan untuk berbisnis setelah besar nanti!  Yang ada (dan yang normal), kalo udah lulus yaa kerja.  Ngantor!



 
Jadi... pilih jurusan apa yaaa?  Saya mau jadi apa sih?
Maunya sih, saya jadi desainer.  Ketertarikan utama saya sih bidang fashion.  Tapi interior dan arsitek pun sepertinya menarik.  Saya pun mulai mencari dan memilih-milih universitas.  Saya ajukan ke papa.




 
Well, ternyata papa sudah mempersiapkan pilihannya: kedokteran dan pertanian, lengkap dengan pilihan universitasnya! 
HAHHH?!?!?!  Dua-duanya terlintas pun nggak di pikiranku.  Jadi dokter?  Membayangkan sekolahnya lama aja saya udah pengen muntah.  Apalagi jadi petani.  Saya memandang masa depan saya mulai buram.  Literally, blur!  Alias nggak ada gambaran!
  
But Dad ruled!  Pertimbangannya adalah keputusan final.  Mengingat nilai pelajaran biologi saya termasuk yang paling bagus, kedua major tadi dianggapnya memungkinkan untuk wirausaha, universitas pilihannya relatif berbiaya murah; then.. saya pun menghabiskan nyaris 9 tahun mengejar gelar S1 doang!




Papa saya sebenarnya sudah mengarahkan dengan benar.  Hanya saja kurang sedikit memberikan gambaran, mengajarkan soal visi, dan motivasi.  Sayangnya, begitu nyampe di kampus juga, saya nggak pernah diajari tentang visi, tentang aplikasi ilmu bagi kehidupan sehari-hari, tentang manfaat ilmu itu untuk cari nafkah, tentang pengembangan prospek ke depan...


 Semoga pendidikan kita sekarang sudah mengarah ke sana ya, supaya nggak ada lulusan hukum buka toko kue, lulusan kelautan jadi menejer restoran, lulusan peternakan kerja di media, lulusan ekonomi jadi customer service, atau sarjana seni jadi account executive...  
 

2.4.13

Skills of Survival From Home

Living in the first year of marriage (yang kata orang masa paling berat nomer satu dalam pernikahan), I realize more and more, how mom & dad taught me so many things well back then, baik yang mereka sengaja ajarkan maupun yang, mungkin, tanpa sadar mereka contohkan.

Papa sudah tentu mengajariku untuk mandiri, nggak cengeng, berjuang, bersikap decent, hemat, disiplin, low profile dan banyak lagi.


Mama lebih ke hal-hal yang relijius dan banyak mencontohkan skills of survival, seperti bagaimana menjadi perempuan yang kuat, SABAR (bold and underlined, hehehe..), berbakti pada suami (no matter what, yang dulu aku melihatnya sebagai naive), setia, pinter ngatur uang rumah tangga (dengan "setoran" uang belanja pas-pasan, mama masih bisa menyisihkan sedikit demi sedikit uang dan menjadikannya safety net keluarga dan kami sering sekali tertolong dengan safety net ini!), masak sendiri buat keluarganya dengan bahan seadanya (setelah dipikir-pikir, she's soo creative with ingredients!), and being such a wonder woman!  


She is indeed!  She's not college graduated but I think she's capable to do everything, like, E-VERY-THING!

Dan nggak seperti papa, seperti saya singgung tadi, mama lebih mencontohkan.  Saya rasa dia nggak sengaja juga menjadikan dirinya role model.  Mama itu pikirannya sangat simple.  Prinsip hidupnya sangat vertikal: lillahi taalaNo wonder she always survives.  

Contohnya saja, dia nggak pernah mengajari saya memasak.  Dalam arti, dia nggak pernah memberi resep-resep lalu menyuruh saya berlatih memasak.  Banyak kan, ibu-ibu yang memang mengharuskan anak perempuannya bisa masak dalam rangka mempersiapkannya menjadi seorang istri teladan di masa depan?  


Tapi yang mama lakukan adalah hanya dengan melibatkan saya di dapur, entah memotong wortel, mengupas bawang, mengelap piring, mengulek bumbu, mengaduk sayur atau sesederhana menjaga gorengan supaya nggak gosong meanwhile dia juggling dengan pekerjaan lainnya.

Mungkin karena hal itu dilakukan setiap hari sampai saya keluar dari rumah di umur 18, jadilah rutinitas itu masuk ke dalam memori saya, nggak cuma pekerjaan mengupas bawang tadi, tapi the whole proses memasak setiap menu!  Lebih tepatnya, memori otot saya sih...   (saya pernah menonton Nat Geo, memori ototlah yang membuat kita "bisa karena biasa").


Sesuatu yang lucu adalah waktu suami saya bilang, "Liat perutku nih, mulai buncit.  Gimana nggak, pagi sarapan trus brunch, sore dikasih cemilan, trus makan malem.  Kadang malem di-"pakani" cemilan lagi!", katanya sambil mengelus-elus perut dengan senang.  Dan aku baru sadar, pola makan itulah yang mama terapkan di rumah.  Pagi ngopi/ ngeteh, jam 11 brunch, jam 3 atau 4 ngopi/ ngeteh lagi, jam 7 makan, jam 8 cemilan ringan atau buah!

Dan saya menjalankan itu sekarang di rumah saya!

Kebayang nggak sih, apa yang melekat di memori otot anak-anak yang di rumahnya biasa dengan kekerasan atau justru keacuhan, orang tua sibuk masing-masing...  Oh my... dengan segala keterbatasan kami dulu, saya sangat  bersyukur punya papa mama yang nggak hanya mengajarkan yang baik, tapi juga menjadi contoh.

Love you, Mom..  Love you, Dad...
I hope I can be a good parent as well as you!
 

9.3.13

Life Is Good


Bulan Maret seharusnya menjadi bulan yang sangat membahagiakan buat saya.
Di bulan ini saya berulang tahun, juga adik saya dan beberapa sahabat dekat.
Tapi bulan favorit saya ini dibuka dengan dua berita duka.
Dua orang teman saya berpulang di usia yang sangat muda.
Dua-duanya "cuma" dapet jatah 39 episode saja menjalani perannya di season 1 hidupnya.
Sekarang mungkin sedang mulai syuting season 2.
Pasti ceritanya lebih indah dari season 1 :)

Mas Bipi Nastoto dan Irwin Novianto adalah dua orang rekan kerja saya di kantor lama.
Saya nggak pernah bekerja langsung dengan mereka dan personally juga tidak mengenalnya terlalu dekat.
Tapi memori yang tersisa di kepala (baca: hati) saya adalah bahwa keduanya orang yang ramah, family man, dan radio person yang mencintai pekerjaannya.


Kenangan terkuat dari Mas Bipi adalah suaranya yang sangat 'laki'.  Nggak heran kalo fans penyiar yang satu ini nggak bisa kehitung.  Dengan suara 'laki'-nya itu, pendengar laki ngerasa 'bro' banget sama dia, sementara pendengar perempuan, kalo nggak 'nyender di dada abang' yaa 'klepek-klepek' lah! ;)
 
Semangatnya melawan cancer yang pernah dideritanya menjadi inspirasi buat saya bahwa apa pun yang saya anggap buruk yang pernah saya alami nggak ada apa-apanya dibanding perjuangannya untuk kembali sehat.  Pelajarannya: nggak usah kebanyakan ngeluh deh!  Ujian orang lain lebih berat dari lo!


Sedangkan Irwin, saya masih ingat banget waktu saya 'dikaruniai' double job sebagai music director, selain program director yang sudah saya jabat.  Bolak balik saya menggali pengalaman dan pelajaran dari dia mengenai seleksi lagu, rotasi, sampe ngulik software yang super-moody dan nggak tau maunya apa itu :p
Nggak jarang kami curhatan juga mengenai selera pasar yang semakin bikin kita repot melawan habis-habisan idealisme diri sendiri.


Irwin juga membuat saya berasa dekat dengan rumah karena dengan dia, saya sering menggunakan bahasa 'rumah' Cerbonan.  Ya, kami memang satu kampung di Cirebon, bahkan dulu satu almamater di SMA.  Padahal, saya termasuk jarang mau berbahasa Cerbonan, karena saya tahu, bahasa Cirebon saya jelek banget.  Yang ada, saya malah kedengeran 'wagu' tiap berbahasa Cirebon.  Tapi sama Irwin, semuanya seperti lancar saja karena saya nggak takut salah dan nggak takut kedengeran 'wagu' :D


Kedua teman saya ini dipanggil dengan serangan jantung.
Sepertinya penyakit degeneratif kayak gini udah nggak kenal umur.  Penderitanya semakin muda saja usianya.
 
Pelajaran buat saya:

1.  Hiduplah lebih sehat
2. Jangan terlalu serius (baca: stress)
3. Less worry karena semua sudah diatur sama Yang Di Atas, dan Yang Di Atas nggak pernah salah ngatur 
4. Selama masih hidup selalu ada harapan
5. Jangan terlalu bersusah hati karena apa yang kita alami nggak seberapa dari yang orang lain alami
6. Nikmati hidup to the fullest.  Nikmati hal kecil, like matahari pagi, hujan, kicau burung, atau aroma kopi; selagi masih bisa menikmati
7. Sayangi keluarga dan sahabat-sahabat
8. Nggak usah buang waktu untuk membenci 
9. Cherish every moment
10. Letting go dan tentunya... 
11. Selalu 'siapkan diri' untuk menghadap Sang Big Boss, cos we'll never know.. :D
12.  .................................. (ada yang mau nambahin? ;p)


Nice to know you, Guys...  And FYI, you're so loved.
Rest in peace...